on Selasa, 13 Maret 2012



































Read More.. »»

Segera Bangkit Persepakbolaan Indonesia

on Rabu, 23 Juni 2010

Gubernur Jawa Timur (Jatim), Soekarwo, mengatakan, masyarakat Indonesia saat ini haus akan prestasi sepak bola tingkat internasional sehingga untuk meraih itu diperlukan momen kebangkitan. "Untuk meningkatkan prestasi sepak bola Indonesia diperlukan pengungkit-pengungkit yang besar dan kuat," katanya pada pembukaan Kongres Sepak Bola Nasional (KSN) di GOR Ken Arok Malang, Selasa (30/3).Menurut Soekarwo, jika sepak bola Indonesia berprestasi banyak keuntungan yang akan diraih. Selain kebanggaan bagi bangsa dan negara, citra Indonesia jelas akan terangkat di tingkat internasional.

Untuk itu, dengan momen KSN yang dibuka langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, akan menjadi momen kebangkitan sepak bola nasional. " Dengan prestasi baik secara otomatis harkat dan martabat di mata masyarakat Indonesia maupun internasional akan terangkat juga," katanya menambahkan.

Soekarwo menjelaskan, Indonesia mempunyai sejarah yang bagus akan prestasi sepak bola. Dengan kondisi saat ini yaitu mengalami penurunan prestasi diharapkan secepatnya mendapatkan solusi terbaik termasuk melalui KSN.

Jawa Timur selama ini menjadi barometer sepak bola nasional terbukti saat ini banyak klub yang bertanding dikompetisi sepak bola nasional mulai ISL, Divisi Utama, Divisi I, Divisi II dan Divisi III.

KSN di Kota Malang, ide awalnya dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang prihatin akan prestasi sepak bola nasional. Dengan menggabungkan beberapa unsur yaitu Kemenpora, KONI, PSSI dan PWI.

Pada kongres yang diikuti sekitar 500 peserta itu diharapkan mampu menghasilkan rekomendasi terbaik sehingga prestasi sepak bola Indonesia kembali meningkat dan mampu bersaing ditingkat Asia Tenggara, Asia dan Dunia.

Sumber: http://olahraga.tvone.co.id/berita/view/40799/2010/06/20/daftar_pencetak_gol_di_piala_dunia_2010/

Read More.. »»

Keberhasilan Dakwah di Tangan Generasi Pemuda

Dalam perjalanan dakwah, peran pemuda sangatlah penting. Bisa kita lihat ke masa lalu, saat Nabi hijrah ke Madinah, yang menyambutnya pertama kali adalah para pemuda. Oleh karena itu, kekuatan Islam di sana bertambah kuat, dan dengan semangat para pemuda kita, Indonesia bisa mencapai kemerdekaan yang telah dinantikan selama berabad-abad. Semua itu tidak lepas dari campur tangan pemuda. Dan dari pemuda itulah muncul ide-ide atau gagasan yang menakjubkan. Masa muda adalah masa dimana perubahan-perubahan yang signifikan terjadi. Hal itu dikarenakan pada masa muda beban yang diemban belumlah begitu berat, tidak seperti beban yang telah ditanggung oleh para orangtua yang berkewajiban untuk menghidupi anak dan istrinya.Jika dilihat populasi pemuda di Indonesia cukuplah besar. Namun demikian, jumlah pemuda yang cukup signifikan itu secara kualitas mencemaskan. Masih banyak pemuda yang tak mengenal jati dirinya, bahkan menjadi beban bagi proses pembangunan dan perubahan. Jumlah pemuda yang terjebak pada narkoba semakin mengkhawatirkan, pengangguran di kalangan pemuda semakin meningkat, pemuda yang tak memiliki keterampilan (unskill) semakin banyak.

Tingkat pendidikan yang rendah juga terjadi di kalangan pemuda. Inilah setidaknya sederet masalah yang ada dalam dunia kepemudaan yang menyebabkan mereka tidak dapat menjadi varibel penting dalam mendorong perubahan.

Padahal dalam konteks historis bangsa ini, peran pemuda cukuplah besar. Sebagaimana kita ketahui sejarah pemuda adalah sejarah heroik. Dalam setiap derap perubahan bangsa, peran pemuda selalu menonjol dan berada di garda depan. Pemuda telah menjadi pelopor pendirian bangsa. Momentum atau sejarah yang telah diisi oleh pemuda dengan tinta emas, antara lain, sejarah Kebangkitan Nasional, sejarah Sumpah Pemuda, dan sejarah kemerdekaan Indonesia.

Kita lihat saja qudwah kita Rasulullah, beliau sejak umur 12 th sudah menjadi seorang profesional. Beliau sudah melakukan perdagangan ke laur negeri. dan masih banyak lagi. Ini bisa menginspirasi kita bahwa kita pasti bisa memajukan dakwah yang ada di sekitar kita. Dengan keyakinan yang kuat akan bantuan dari Allah, Insya Allah kita bisa melakukannya.

Jika kita ingin melihat nasib bangsa ke depan, lihatlah pemudanya saat ini. Biarlah para petinggi kita melakukan korupsi, insya Allah besok kita bisa menggantikannya, dan memajukan Indonesia.

”Sesungguhnya roda Islam itu seantiasa berputar. Adakalanya ia di atas dan adakalanya ia di bawah, lalu ia akan berputar ke atas kembali. Maka ikut berputarlah kamu, kemana saja roda Islam itu berputar. Hingga Allah menemukan satu dari dua kebaikan: MATI SYAHID ATAU KEMENANGAN”.

Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/1804797-peran-pemuda-dalam-dakwah/

Read More.. »»

Bahasa Indonesia vs Bahasa Gaul

Sekarang ini terutama para pemuda lebih senang menggunakan bahasa gaul dibanding dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahkan karena terlalu sering menggunakan bahasa gaul, mereka lupa akan tata cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Banyak kita lihat sinetron-sinetron di televisi juga mencontohkan bahasa gaul di kalangan muda mudi.“Padahal seharusnya siapa saja yang berkomitmen dengan sumpah pemuda harus menjunjung tinggi penggunaan Bahasa Indonesia yang baku sebagai bahasa persatuan,” kata pengamat bahasa dan sastra Indonesia Jamal D Rahman di Yogyakarta, Kamis (15/10).

Menurutnya, generasi muda hendaknya mencontoh tokoh Muhammad Yamin. Dia adalah cermin anak muda yang memiliki keyakinan penuh kedudukan bahasa dalam kebudayaan, dan bahasa itu adalah Bahasa Indonesia.

Kita semua tidak terlepas dari pergaulan yang memperkenalkan kita pada bahasa gul. Pernahkah kita bertanya dari mana asal bahasa gaul? Bahasa gaul yang sering kita pakai tidak sedikit yang berasal dari bahasa Betawi. Sebut saja : Gue (aku), doang (hanya). Itu merupakan salah satu contoh bahasa gaul.

Ada juga bahasa gaul yang menyerap bahasa asing seperti : what’s up, bye-bye, OK.
Bahasa gaul juga ada yang mengambil kata-kata dari bahasa iklan. Contohnya : siapa takut, gue banget.
Meskipun tidak banyak orang yang mengerti maksudnya, tapi mereka tetap saja ikut-ikutan dan mengucapkan kata itu berulang-ulang.

Memang seiring dengan berjalannya zaman, kita semakin terbawa arus globalisasi dan perkembangan bahasa gaul pun semakin pesat. Saat ini bahasa gaul sudah dianggap sangat lumrah. Dulu sebelum maraknya teknologi email dan sms, orang lebih senang menulis yaitu dengan surat. Sebenarnya dengan surat orang dapat lebih menggali kreatifitas untuk menulis. Namun kini dapat kita lihat, kantor pos-kantor pos terlihat sepi. Orang lebih senang dengan berkirim sms ataupun email yang tidak ada aturan untuk menulisnya. Jika para generasi muda lupa akan bahasa persatuan lalu siapa yang akan melestarikan Bahasa Indonesia? Yang dapat menyelesaikan semua masalah ini hanyalah kita. Boleh-boleh saja menggunakan bahasa gaul, tetapi kita juga harus mengerti dahulu tentang bahasa Indonesia. Tidak perlu takut dibilang tidak gaul atau kuper karena pasti ada kepuasan tersendiri bagi kita yang berhasil melestarikan indahnya bahasa Indonesia. Karena kita generasi penerus dan juga Bangsa Indonesia, maka cintailah bahasa Indonesia.

Sumber: http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/fenomena-bahasa-gaul-di-sekitar-bahasa-indonesia/

Read More.. »»

Dilema Utang Indonesia

Masalah utang Indonesia dari rezim ke rezim seakan menjadi momok bagi bangsa Indonesia, bahkan juga ibarat monster yang mengerikan yang akan dihadapi generasi bangsa di kemudian hari. Utang Indonesia seakan berada dalam “lingkaran setan” tak berkesudahan, yang secara teoritis terus menggelembung dari waktu ke waktu tanpa ada tanda-tanda yang mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia suatu saat akan terbebas dari belenggu utang ini.Dari perhitungan, tampak ada kecenderungan bahwa dalam beberapa tahun ke depan, utang pemerintah yang jatuh tempo setiap tahunnya rata-rata mencapai sekitar US$8 miliar. Beban total utang pemerintah hingga sekarang adalah sekitar US$80 miliar. Melalui kalkulasi yang sederhana, dapat diketahui bahwa pemerintah membutuhkan waktu minimal 16 tahun untuk melunasinya. Masa 16 tahun ini masih disertai dengan syarat minimal bahwa selama periode 16 tahun tersebut tidak terjadi penambahan beban utang baru.

Masalahnya akan menjadi lebih runyam lagi karena pemerintah juga menghadapi persoalan utang dalam negeri yang dilakukan sektor swasta, yang rata-rata jatuh temponya pendek; yang jumlahnya ternyata sangat fantastis, yakni sekitar US$70 miliar. Pada kenyataannya, pemerintah saat ini berada dalam posisi dilematis untuk (juga) menuntaskan persoalan kredit konglomerat yang tak kunjung tuntas.



Perikatan penuh dusta

Berdasarkan perspektif ekonomi mikro, semakin kuat munculnya pandangan umum yang menghendaki Indonesia melepaskan diri dari perikatannya dengan lembaga restrukturisasi finansial dunia, seperti IMF, Bank Dunia, dan CGI. Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kelanjutan ikatan dengan lembaga restrukturisasi finansial dunia tersebut hanya akan merugikan Indonesia.

Maka, ketika “krisis Asia” (1997) melanda Indonesia, kita terpaksa menjadi pasien IMF yang selalu menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Bahwa manfaat yang diberikan perikatan itu jauh lebih kecil dari kerugian yang diderita bangsa Indonesia—dan generasi selanjutnya. Selain terjadi ketergantungan semakin kuat pada lembaga keuangan dunia, ekonomi Indonesia ternyata berkembang ke arah yang salah—satu hal yang secara simplistis sesungguhnya pernah diakui oleh petinggi IMF sendiri—di samping menjadikan Indonesia sebagai negara pengutang terbesar dunia sekarang ini.

Hubungan antara pemerintah dan lembaga restrukturisasi finansial dunia ini sering mengalami pasang surut dari waktu ke waktu. Kadang begitu mesra, ada kesan saling membutuhkan dan saling bergandengan satu sama lain. Namun di balik hubungan kerja itu ternyata sarat dengan kepentingan masing-masing—untuk tidak dikatakan penuh dusta.

Hubungan itu ibarat benci tapi rindu. Padahal, pemerintah harus menyelesaikan masalahnya dengan IMF karena hal itu merupakan jaminan masuknya investasi. Pemerintah harus ingat bahwa Bank Dunia dan CGI merupakan satu paket dengan IMF sebagai pemimpinnya. Kalau urusan dengan IMF lancar maka semuanya akan beres.

Keprihatinan berdasarkan pada kesadaran ini penting bahwa utang tentu memerlukan kepercayaan, tetapi inilah kepercayaan yang menyesatkan. Dahulu kita bangga mendapat pinjaman, tetapi setelah perekonomian bangsa bangkrut antara lain karena dibangun di atas pinjaman, saatnya kita harus memandang utang sebagai kusta. Bukan solusi, melainkan dusta.

Yang jelas, semua itu memperlihatkan bahwa pemerintah kembali menempuh kebijakan lingkaran setan, yakni menggerakkan ekonomi dari utang, menggelinding karena utang, dan berakhir dengan utang. Hasilnya, utang yang kian tumbuh dan menggunung. Filsafat bikin utang dan tutup utang ini telah mengkristal sedemikian mendalamnya sehingga menjadi pandangan hidup yang abadi, dari rezim ke rezim.


Harapan dan kenyataan

Rasanya kita perlu mengingat kembali pada pemenang Hadiah Nobel di bidang Ekonomi (1974), Gunnar Myrdal (1898-1987), lewat karya monumentalnya An American Dilemma: the Negro problem and modern democracy (1944), sebuah studi sosiologi; dan Asian Drama: An inquiry into the poverty of nations (1968), yang membahas masalah ekonomi di negara berkembang.

Melalui kedua karyanya ini, Prof. Myrdal membahas prinsip kausalitas kumulatif, interaksi variabel ekonomi dengan non-ekonomi dan sederet sumbangan penting lainnya dalam teori ekonomi-politik. Namun, kontribusi utama Myrdal dalam teori ekonomi adalah tentang penajaman perbedaan antara perkiraan (ex ante) dan kenyataan (ex post).

Adakah korelasi antara teori Myrdal dan manajemen utang? Penulis dalam konteks ini ingin mengatakan bahwa terdapat hubungan saling silang yang cukup menarik—dalam konteks sosial-politik, kultural, dan hukum. Ada kaitan antara harapan dan kenyataan. Myrdal mengangkat teori ekonomi dari penyamaan dengan ilmu mekanika klasik dan menempatkannya dalam suatu tataran tersendiri.

Ada aspek lain yang lebih penting dalam pembedaan ex ante dan ex post, yakni membedakan perubahan “terantisipasi” dengan perubahan yang “tidak terantisipasi.” Karena itu, pembentukan ekspektasi dalam ketidakpastian dapat dibagi atas dua bagian, yaitu: ex ante penghitungan awal suatu periode, dan ex post, penghitungan pada akhir periode.

Tetapi, yang paling penting pada semua pendekatan dalam teori ekonomi yang mengandung unsur ketidakpastian, juga terbagi atas dua kelompok besar: pendekatan ex ante yang menerangkan bagaimana ekspektasi menentukan besaran variabel ekonomi; dan pendekatan ex ante dan ex post yang sekaligus menjelaskan perbedaan antara harapan dan kenyataan. Dengan mengusung teori Myrdal ini, timbul pertanyaan di hadapan kita semua demikian: apakah mengelola manajemen dan dilema utang ini memiliki aspek lain yang lebih penting dalam pembedaan ex ante dan ex post, perbedaan antara harapan dan kenyataan?

Sumber : http://dinazhar.multiply.com/journal/item/20

Read More.. »»

Potret Generasi Indonesia Saai Ini

Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault menyatakan keprihatinannya dengan keberadaan generasi muda dewasa ini yang kurang peduli sejarah perjuangan bangsa, tidak peduli masalah lingkungan, dan budaya. Generasi muda sekarang terlena dan tergila-gila dengan sinetron bertema percintaan dan dunia mistik, serta budaya barat.Anak muda sekarang kena penyakit kegilaan karena senang. Di otak mereka hanya ada cerita-cerita sinetron cinta dan mistik. Film-film hantu-hantuan menjadi cerita menarik, ketimbang memberikan solusi dari persoalan lingkungan yang membelit masyarakat, "Apalagi memberikan solusi bagi persoalan kenegaraan dan kebangsaan, bagai jauh panggang dari api," kata Adhyaksa Dault, Sabtu (31/1), ketika berbicara pada Rapat Kerja Nasional FKPPI di Jakarta.

Dalam kondisi dan situasi generasi muda seperti itu, Menegpora Adhyaksa berharap, FKPPI harus tampil ke depan membawa pencerahan dan berbuat yang terbaik untuk masyarakat dan bangsa. FKPPI harus bisa berbuat. "Dengan banyaknya anak muda sekarang yang lupa dengan sejarah, coba FKPPI produksi film-film yang menggambarkan kesejarahan, kepahlawanan, dan nasionalisme," ujarnya.

Adhyaksa bercerita, pernah ketika ditanyakan siapa itu Cut Nyak Dien, anak-anak muda hanya menjawab, "Saudaranya Cut Yanti, Cut Keke...." Ini memprihatinkan. Mereka tidak tahu dan membaca sejarah bahwa Cut Nyak Dien adalah pahlawan, perempuan pejuang dari Tanah Rencong Aceh (NAD). Bahkan, ketika disebut Fatmawati, jawaban yang didapat hanya nama sebuah restoran. Begitu juga Diponegoro, mereka tidak tahu.

Menurut dia, anak-anak muda harus tahu sejarah. Nasionalisme harus kental. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan budayanya. Dengan tahu sejarah, kita bisa mendapatkan inspirasi atau ilham, pengetahuan, dan keterampilan untuk memperbaiki kehidupan masa kini dan masa yang akan datang.

"FKPPI harus berpikir bagaimana Indonesia ke depan, bagaimana Indonesia 50 tahun mendatang? Bagaimana Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bisa utuh? Bagaimana menciptakan negarawan dan politisi yang negarawan? Untuk ini perlu kearifan. FKPPI perlu di-support," kata Menegpora.

Adhyaksa melukiskan, tahun 2010 jumlah generasi muda (usia 15-35 tahun) mencapai lebih kurang 70 juta orang. Masa depan bangsa kini dan ke depan berada di tangan generasi muda. Karena itu, masalah sejarah, budaya, dan masalah lingkungan harus jadi perhatian. Masalah ini perlu diangkat dan dikemas dengan baik.

FKPPI adalah organisasi besar yang harus jadi solusi, bukan jadi masalah. Menghadapi agenda pemilu ke depan, siapa pun calon presiden, pemilu harus disukseskan. FKPPI harus menjadi pemersatu anak-anak bangsa. Tampil ke depan menjadi teladan.

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2009/01/31/13505354/Pemuda.Mesti.Peduli.Sejarah..Lingkungan..dan.Budaya..

Read More.. »»

Kebudayaan Indonesia Tanggung Jawab Bersama

“Zamrud Khatulistiwa”, itulah julukan bagi negara tercinta kita Indonesia yang terus dikumandangkan demi mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia ini.

Pernahkah bangsa Indonesia berfikir betapa luasnya tanah air kita,betapa banyaknya kekayaan di Indonesia yang belum digali. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain dibelahan dunia sana,negara kita mempunyai kekayaan dari berbagai sektor apapun: industri, pertanian, pertambangan, kelautan, dan lain-lain. Namun apakah itu semua menjamin bangsa Indonesia memiliki rasa kepemilikan yang kuat terhadap bangsa?Kurangnya kepedulian masyarakat akan pentingnya menjaga tradisi seni budaya yang telah mendarah daging dari nenek moyang terdahulu kita hingga zaman yang serba modern ini menjadi sasaran empuk bagi negara-negara lain yang ingin menamabah koleksi budaya mereka. Banyak sekali kebudayaan-kebudayaan Indonesia yang tercinta ini yang telah diambil haknya oleh pihak-pihak dan instansi-instansi yang tidak bertanggung jawab.

Contoh budaya Indonesia yang telah diambil hak patennya adalah tempe, yang diambil oleh negara Jepang. Begitu pula lagu "Rasa Sayange" yang diambil oleh negara tetangga kita sendiri yaitu Malaysia, dan masih banyak lagi budaya-budaya Indonesia yang dicuri secara sewenang-wenang.

Seperti yang kita ketahui,banyak sekali bencana-bencana alam yang terjadi di Indonesia ini seperti gempa, lumpur Lapindo, tsunami, banjir dan masih banyak lagi masalah-masalah lain yang sangat menyita perhatian bangsa ini sehingga kebudayaan kita ditelantarkan?

Di bidang kesenian,banyak sekali acara-acara atau festival kesenian dan budaya yang sama sekali belum mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah. Acara seni budaya tentulah haruslah dilakukan secara rutin dan pemberian penghargaan berupa bantuan dana.

Alangkah baiknya jika pemerintah negara atau kota mau menghitung ulang anggaran-anggaran yang dibutuhkan oleh bidang-bidang kebudayaan.Seharusnya bangsa Indonesia bisa lebih memahami masalah-masalah di atas, baik dari hal terkecil hingga sektor yang terkait dengan itu semua.

Sumber: http://www.daarelqolam.ac.id/mp/opini/lunturnya-budaya-indonesia.aspx

Read More.. »»

Pahami Sejarah Sebelum Memaknai Kebangkitan Nasional

Menimbang sejarah “102 Tahun Kebangkitan Nasional” tanggal 20 Mei 2008, tepat seratus tahun lalu Boedi Oetomo (BO) yang digagas oleh Dr. Soetomo dan kawan-kawannya di STOVIA berdiri. BO dianggap merupakan cikal-bakal pergerakan nasional di bumi pertiwi. Benarkah BO adalah organisasi pertama yang menjadi cikal-bakal pergerakan nasional? Ada baiknya kita mengkaji kembali sejarah, meski tentu tidak lepas dari berbagai pandangan yang kontroversial, setidaknya bisa menambah wawasan kita dalam menilai secara obyektif atau mencoba mencari intersubyektivitas dari berbagai pandangan yang kontroversial tersebut. Soetomo sendiri lahir di Ngegeh, sebuah desa kecil di Nganjuk, pada tahun 1888 — mungkin ini angka keberuntungan. Pada tahun 1903 Soetomo menyelesaikan pendidikannya di Stovia dan memperoleh gelar dokter. Sang dokter muda ini kemudian mendapat kesempatan melanjutkan pendidikannya di Belanda pada tahun 1919, dua tahun sebelumnya memperistri seorang noni Belanda yang dikenalnya saat bertugas di Blora.

Konon, semangat Soetomo mendirikan BO adalah setelah perkenalannya dengan Dr. Wahidin Soediro Hoesodo, tokoh pergerakan nasional yang lahir pada tahun 1857. Jurnalis yang juga pengajar ini adalah tokoh penggagas BO, bersama dengan Dr. Soetomo dan Wigjohadjo, menjadi redaktur dari surat kabar legendaris Retno Doemilah, yang terbit setiap hari Selasa dan Jumat setiap minggunya.

Pada tahun 1908, Wahidin juga memimpin majalah Goeroe Desa yang merupakan majalah BO. Jika Retno Doemilah fokus pada bidang pendidikan, maka Goeroe Desa lebih fokus pada masalah kesehatan. Selain Soetomo dan Wahidin, ada satu tokoh penting lagi dalam BO, yakni Tjipto Mangunkusumo. Tokoh pergerakan yang bergaya radikal ini lahir di Ambarawa, pada tahun 1886. Tjipto sempat menjadi komisaris BO, namun tidak lama kemudian hengkang, karena tidak cocok dengan Dr. Radjiman Wedyoningrat dan kelompoknya, yang dianggapnya terlalu primodial dalam mempertahankan BO sebagai gerakan tulen Jawa, yang menurutnya turut menyuburkan feodalisme.

Tjipto kemudian bergabung dengan guru jurnalistiknya Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat dalam tiga serangkai dan menerbitkan surat kabar De Expres, pada Maret 1912. Pada tahun yang sama Tjipto mendirikan Indische Partij (IP) guna meluaskan sepak-terjangnya.

Perlu diingat, sebelum BO dan Tiga Serangkai, lahir Sarekat Prijaji pada tahun 1904, yang dimotori oleh Tirto Adi Soerjo, seorang cucu dari Bupati Bojonegoro yang lahir pada tahun 1880. Organisasi yang dianggap sebagai organisasi modern pertama yang dimiliki bangsa Indonesia ini mulai melakukan konsolidasi dari tingkatan priyayi dari Jawa, Madura hingga ke Ambon.

Namun, sepak-terjang Tirto yang sering disebut sebagai Sang Pemula Pergerakan di Indonesia ini mulai menonjol saat menerbitkan surat kabar Medan Prijaji, pada tahun 1907. Tercatat, puluhan kali Tirto membuat merah telinga para pembesar Belanda, bupati dan antek-antek feodalis lainnya. Gubernur Jendral Idenburg bahkan menugaskan Dr. Rinkes, untuk secara khusus mengamati, mengontrol, memojokkan dan menumbangkan Tirto dan Medan Prijaji. (Pramoedya Ananta Toer khusus menulis riwayat hidup dan perjuangan Tirto dalam Kuartet Pulau Buru, dengan nama samarannya Mingke, sebuah novel fenomenal yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dianggap layak mendapatkan nobel sastra).

Dari tangan dingin Tirto inilah bibit-bibit pergerakan nasional ditanamkan kemudian melatarbelakangi lahirnya Sarekat Islam (SI), yang digawangi oleh Samanhudi dan Tjokroaminoto. Salah satu murid Tirto, yang fenomenal, namun juga seorang pejuang serta seniman yang kontroversial adalah Marco Martodikromo. Marco yang lahir di Cepu, pada tahun 1890, adalah sahabat dari Suwardi Suryaningrat dan Haji Misbach. Ia berkali-kali keluar-masuk penjara dalam melakukan perlawanan melalui organisasinya Doenia Bergerak.

Marco merupakan organisator paling ulet waktu itu, bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1923, setelah mendirikan surat kabar Sinar Hindia bersama Soemaoen, tokoh kaum buruh. Ia juga sempat bergabung di Central Sarekat Islam (CSI). Terakhir, ia sempat mengkonsolidasikan hampir 3.000 massa di Surakarta yang tergabung dalam Sarekat Rakjat.

Kebangkitan nasional ditetapkan diperingati saat lahirnya BO, bukan kelahiran Sarekat Prijaji, Sarekat Islam, ataupun kelahiran Sarekat Dagang Islam (SDI). Padahal, menurut paparan sejarah di atas, BO bukan organisasi pionir.

Penetapan tersebut memang bukan tanpa alasan. Pertama, mungkin SP hanya dianggap mewakili para priyayi, SI hanya mewakili golongan Islam, sedangkan TS hanya fokus dalam dunia pendidikan. Namun, belakangan BO sendiri mengalami friksi di dalamnya dan akhirnya ditinggalkan beberapa pendirinya termasuk Tjiptomangunkusumo, karena dianggap terlalu “Jawais”. Tapi, yang jelas, bukan karena persoalan nama BO yang terkesan santun dan persuasif dibandingkan SI atau IP.

Kedua, kita telah mafhum bahwa selama orde baru negara ini dipimpin seorang jenderal semi-diktator. Pada masa orde baru, semua golongan kiri atau golongan merah dianggap terlarang, berbahaya dan harus dibungkam rapat-rapat. Bisa jadi itulah pertimbangan pemerintah kita saat itu, sehingga kurang proporsional dalam menempatkan sejarah. Semua yang berbau komunis dianggap sesat dan menyesatkan. Bahkan, hampir tidak ada pelajar SD hingga SMA yang tahu perbedaan PKI Soemaoen dengan PKI Muso atau dengan PKI Aidit. PKI, ya PKI! Bahkan, mainan yang berbentuk palu atau sabitpun dilarang karena dinyatakan menentang Pancasila. Sejarah dan fakta memang telah diputarbalikkan. Lebih aneh, mayoritas masyarakat kita pasrah dan mengamininya.

Ketiga, dari sekian puluh pemimpin pergerakan Indonesia, baik semasa merebut kemerdekaan maupun saat mempertahankan kemerdekaan. Pemerintahpun telah mensortirnya dengan ukuran yang dibuat sendiri dalam menetapkan pahlawan nasional. Misalnya para pendiri BO, Tiga Serangkai dan SDI, semua masuk dalam kriteria itu. Sedangkan pejuang (yang dianggap) “aliran kiri” seperti Tirto, Marco, Soemaoen, Tan Malaka, dan lain-lain, justru dijadikan sebagai tokoh antagonis. Tidak berbeda dengan nasib Karl Marx, yang juga dijadikan “hantu” di Eropa pada masanya.

Diakui atau tidak, masyarakat kita memang gandrung akan dualisme antara protagonis dan antagonis. Terbukti dari tingginya rating tontonan sinetron-sinetron yang menjual dualisme, atau tayangan hantu-hantu di televisi kita. Padahal, bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa-jasa pahlawannya, tentu saja secara proporsional.

Saat peringatan hari pahlawan beberapa waktu lalu, banyak pihak yang bertanya, mengapa tokoh sekaliber Bung Tomo, yang menggelorakan semangat Arek-arek Soerobojo dan Sultan Hamengkubuwono IX, yang berkorban begitu besar bagi berdirinya negara ini, belum juga ditetapkan sebagai pahlawan nasional? Alasan prosedur harus melalui pengajuan dari keluarga adalah hal yang tidak masuk nalar pikir bangsa yang dewasa. Karena, gelar pahlawan nasional adalah sebuah penghargaan bangsa ini kepada pahlawannya, bukan gelar atau proyek yang harus didahului dengan pengajuan sebuah proposal.

Memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional, digelar acara yang begitu meriah di Jakarta, Pontianak, Yogyakarta, dan berbagai kota lainnya. Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutannya mengajak kita menjadi bangsa yang optimis. Para menteri dan para politisi sibuk menggembor-gemborkan makna kebangkitan nasional. Seorang pimpinan partai bahkan rela membayar iklan beberapa bulan di berbagai televisi swasta dan satu halaman penuh di berbagai surat kabar nasional, sambil menyitir syair Chariril Anwar, berseru “Hidup adalah perbuatan”. Alangkah romantisnya peringatan satu abad kebangkitan nasional ini.

Di sisi lain, di berbagai kota, para mahasiswa dengan logikanya sendiri, marak berteriak meminta pemerintah untuk tidak menaikkan BBM. Golongan mahasiswa, yang entah apa karena berpikirnya sudah lumayan logis atau hanya karena pro pemerintah, meminta presiden untuk menundanya. Bagi mahasiswa dan rakyat miskin, naik tidaknya minyak dunia bukanlah urusan mereka. Seharusnya pemerintah mencari solusi lain, bukan menaikkan BBM. Karena, satu hal yang pasti ketika BBM naik, inflasi pun dipastikan terjadi. Ketika inflasi tidak terkendali, seperti yang terjadi selama ini, kurva kemiskinan juga dipastikan akan melejit kembali.

Mungkin kita perlu menakar ulang makna kebangkitan nasional ini, sehingga pijakan kita untuk bangkit bisa menjadi kokoh dan tidak keropos seperti saat ini.

Catatan: Ringkasan sejarah di atas dikutip dari buku Tanah Air Bahasa, 100 Jejak Pers Indonesia, terbitan I; Boekoe, Desember 2007. (Farid S. Zuhri, KORKOT-04 KMW XIV P2KP-3 Maluku Utara, PNPM Mandiri Perkotaan; Firstavina)

Sumber : http://www.p2kp.org/wartaarsipdetil.asp?mid=2271&catid=2&

Read More.. »»

Membentuk Karakter dan Nilai-nilai Kebangsaan di Kalangan Pemuda

Prioritas pembangunan kepemudaan, sebagaimana diungkapkan Sakhran Asmara, ada pada penguatan pembentukan karakter bangsa (nation and character building) serta peningkatan kapasitas dan daya saing pemuda.
Pemuda yang dalam perspektif demografis adalah orang yang berfikir dewasa dan berusia 18-35 tahun, menghadapi permasalahan karakter seperti maraknya tindak kekerasan di kalangan pemuda, kecenderungan penggunaan bahasa yang semakin memburuk, melemahnya idealisme, patriotisme serta mengendapnya spirit of the nation.Dalam rangka memperingati 101 Hari Kebangkitan Nasional, Kemenegpora melaksanakan pendidikan kesadaran bela negara pemuda, menyelenggarakan Jambore Pemuda Indonesia, Kapal

Pemuda Nusantara, melaksanakan bakti pemuda antar provinsi, pelatihan pemuda kader mitra kamtibmas, pertukaran pemuda antar negara, Festival Kreatifitas Pemuda, pembentukan Kader Pengembangan Moral Etika Pemuda Indonesia (KAPMEPI), dan pengembangan kesadaran pemuda terhadap bahaya pornografi. (Lida)

Patah parang jangan dicela
Elok Disepuh Dibara Api
Hang Tuah Bijak pernah berkata
Tak pernah pemuda menyerah di bumi

Untuk apa memeras kelapa
Kalau tidak banyak santannya
Untuk apa jadi pemuda
Kalau tak bisa membangun bangsa

Walau debur ombak menerpa
Tak kan perahu berhenti laju
Walau hancur dihantam gempa
Pemuda Indonesia tetap bersatu

Sumber: http://www.kebangkitan-nasional.or.id/?mod=berita&id=119

Read More.. »»

Hari Kebangkitan Nasional = Hari Renungan Nasional

102 tahun yang lalu, tanggal 20 Mei digalang kekuatan oleh para pemuda di wilayah nusantara ini untuk menyatukan tekad “bangkit dari keadaan sebagai negeri terjajah”
Rentetan perjuangan dengan gelimpangan perngorbanan yang tak terhitung berujung pada tercapainya tujuan “merdeka”. 17 Agustus 1945 kita sampai pada satu “titik” bahwa “wilayah kami” tidak lagi terjajah. Kami sudah menjadi bangsa MERDEKA.
64 tahun sudah berlalu, Kami sudah BANGKIT. Infrastruktur sudah lengkap, sekolah sudah tersebar sampai ke pelosok pedesaan, masyarakat sudah menikmati listrik, telepo bahkan internet
serta seabreg kemajuan yang Kami bangun sejak Orde Lama, Orde Baru, Reformasi hingga kini ……Terhadap kemajuan Pembangunan Fisik, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Pemerataan (kecuali kawasan tertentu terutama di Timur Indonesia) sangat diakui bahwa Indonesia yang sejak 17 Agustus 1945 telah merdeka kini menjadi Negara Berkembang yang sangat diperhitungkan.

Tapi bangaimana dengan Moral masyarakat bangsa ini? baik rakyat biasa maupun yang jadi pejabat?

Inilah yang mungkin dan pasti pada moment KEBANGKITAN NASIONAL tahun ini perlu menjadi bahan renungan.

Pertama, masyarakat di negeri ini masih banyak yang sangat miskin dari sisi ekonomi bahkan lebih celaka lagi banyak di antara mereka yang memiliki mental yang sangat memprihatinkan yaitu selalu mengharapkan bantuan padahal memiliki potensi untuk bangkit dari kemiskinannya. Ini terbuktu dari berbagai program yang digulirkan berujung pada kegagalan karena bantuan yang diberikan selalu “dimusnahkan” ketika sudah diterima bukan “digulirkan”.

Kedua, Pemerataan kesempatan mendapatkan pendidikan bagi seluruh masyarakat tidak diimbangi dengan sistem penyelenggaraan yang memadai sehingga menghasilkan proses dan hasil pendidikan di sekolah yang bersifat formalitas, sekolah dimaknai sebagai bagian yang harus dilewati pada usia tertentu selama waktu tertentu dan harus selesai dengan “mengantongi” ijazah dengan tanpa mempertimbangkan apa yang terbaik harus didapat dari proses pendidikan di sekolah. Kondisi ini melahirkan generasi yang “penuh dengan tanda tanya” yang apabila dibandingkan dengan bangsa lain, rata-rata kualitas lulusan SMA di negeri ini mungkin setara dengan lulusan “SD” di negara maju. ini sangat parah …. meskipun ga semuanya ……. Belum lagi pendidikan belum melahirkan generasi yang bermoral baik, terbukti …..

Ketiga, Masyarakat secara umum masih banyak yang tidak memiliki budaya “do the best”, kompetitif, prosedural dan disiplin terhadap tata etika dan aturan formal kehidupan bernegara di negeri ini sehingga banyak melahirkan budaya kolusi serta kongkalingkong dengan pejabat.

Keempat, Para pejabat yang memililki kewenangan banyak yang menyalahgunakannya, tidak menganggap bahwa jabatan dan kewenangannya sebagai amanat dan memaknai bahwa dirinya adalah pelayan bagi masyarakat. Penyalahgunaan wewenang, Kolusi, Korupsi, Nepotisme menghiasi keseharian pemerintahan negeri ini. Kini…… slogan good governance dan excellent service hanya jadi slogan.

Kelima, keenam, ketujuh ……… terlalu banyak yang harus diungkap.

Besok, 20 Mei 2010 adalah Hari Kebangkitan Nasional berdasarkan sejarah. Akankah hanya dijadikan seremonial belaka hanya sekedar apresiasi terhadap jasa para pahlawan pada waktu itu? ataukah akan dimaknai bahwa hari ini dan selanjutnya negeri ini harus BANGKIT untuk memperbaiki:
- Moral masyarakat dan pejabat.
- Sistem pendidikan yang akan melahirkan generasi cerdas dan bermoral.
- Tatanan kehidupan perekonomian dan sosial masyarakat.
- Sistem pemerintahan yang bersih dan amanah.
- Keterpurukan bangsa ini menjadi Bangsa yang Maju dan diperhitungkan.

Bangkit Indonesia ! ! !

Sumber: http://tozmedia.blogdetik.com/2010/05/19/makna-kebangkitan-nasional-setelah-64-tahun-indonesia-merdeka/

Read More.. »»