Dilema Utang Indonesia

on Rabu, 23 Juni 2010

Masalah utang Indonesia dari rezim ke rezim seakan menjadi momok bagi bangsa Indonesia, bahkan juga ibarat monster yang mengerikan yang akan dihadapi generasi bangsa di kemudian hari. Utang Indonesia seakan berada dalam “lingkaran setan” tak berkesudahan, yang secara teoritis terus menggelembung dari waktu ke waktu tanpa ada tanda-tanda yang mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia suatu saat akan terbebas dari belenggu utang ini.Dari perhitungan, tampak ada kecenderungan bahwa dalam beberapa tahun ke depan, utang pemerintah yang jatuh tempo setiap tahunnya rata-rata mencapai sekitar US$8 miliar. Beban total utang pemerintah hingga sekarang adalah sekitar US$80 miliar. Melalui kalkulasi yang sederhana, dapat diketahui bahwa pemerintah membutuhkan waktu minimal 16 tahun untuk melunasinya. Masa 16 tahun ini masih disertai dengan syarat minimal bahwa selama periode 16 tahun tersebut tidak terjadi penambahan beban utang baru.

Masalahnya akan menjadi lebih runyam lagi karena pemerintah juga menghadapi persoalan utang dalam negeri yang dilakukan sektor swasta, yang rata-rata jatuh temponya pendek; yang jumlahnya ternyata sangat fantastis, yakni sekitar US$70 miliar. Pada kenyataannya, pemerintah saat ini berada dalam posisi dilematis untuk (juga) menuntaskan persoalan kredit konglomerat yang tak kunjung tuntas.



Perikatan penuh dusta

Berdasarkan perspektif ekonomi mikro, semakin kuat munculnya pandangan umum yang menghendaki Indonesia melepaskan diri dari perikatannya dengan lembaga restrukturisasi finansial dunia, seperti IMF, Bank Dunia, dan CGI. Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kelanjutan ikatan dengan lembaga restrukturisasi finansial dunia tersebut hanya akan merugikan Indonesia.

Maka, ketika “krisis Asia” (1997) melanda Indonesia, kita terpaksa menjadi pasien IMF yang selalu menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Bahwa manfaat yang diberikan perikatan itu jauh lebih kecil dari kerugian yang diderita bangsa Indonesia—dan generasi selanjutnya. Selain terjadi ketergantungan semakin kuat pada lembaga keuangan dunia, ekonomi Indonesia ternyata berkembang ke arah yang salah—satu hal yang secara simplistis sesungguhnya pernah diakui oleh petinggi IMF sendiri—di samping menjadikan Indonesia sebagai negara pengutang terbesar dunia sekarang ini.

Hubungan antara pemerintah dan lembaga restrukturisasi finansial dunia ini sering mengalami pasang surut dari waktu ke waktu. Kadang begitu mesra, ada kesan saling membutuhkan dan saling bergandengan satu sama lain. Namun di balik hubungan kerja itu ternyata sarat dengan kepentingan masing-masing—untuk tidak dikatakan penuh dusta.

Hubungan itu ibarat benci tapi rindu. Padahal, pemerintah harus menyelesaikan masalahnya dengan IMF karena hal itu merupakan jaminan masuknya investasi. Pemerintah harus ingat bahwa Bank Dunia dan CGI merupakan satu paket dengan IMF sebagai pemimpinnya. Kalau urusan dengan IMF lancar maka semuanya akan beres.

Keprihatinan berdasarkan pada kesadaran ini penting bahwa utang tentu memerlukan kepercayaan, tetapi inilah kepercayaan yang menyesatkan. Dahulu kita bangga mendapat pinjaman, tetapi setelah perekonomian bangsa bangkrut antara lain karena dibangun di atas pinjaman, saatnya kita harus memandang utang sebagai kusta. Bukan solusi, melainkan dusta.

Yang jelas, semua itu memperlihatkan bahwa pemerintah kembali menempuh kebijakan lingkaran setan, yakni menggerakkan ekonomi dari utang, menggelinding karena utang, dan berakhir dengan utang. Hasilnya, utang yang kian tumbuh dan menggunung. Filsafat bikin utang dan tutup utang ini telah mengkristal sedemikian mendalamnya sehingga menjadi pandangan hidup yang abadi, dari rezim ke rezim.


Harapan dan kenyataan

Rasanya kita perlu mengingat kembali pada pemenang Hadiah Nobel di bidang Ekonomi (1974), Gunnar Myrdal (1898-1987), lewat karya monumentalnya An American Dilemma: the Negro problem and modern democracy (1944), sebuah studi sosiologi; dan Asian Drama: An inquiry into the poverty of nations (1968), yang membahas masalah ekonomi di negara berkembang.

Melalui kedua karyanya ini, Prof. Myrdal membahas prinsip kausalitas kumulatif, interaksi variabel ekonomi dengan non-ekonomi dan sederet sumbangan penting lainnya dalam teori ekonomi-politik. Namun, kontribusi utama Myrdal dalam teori ekonomi adalah tentang penajaman perbedaan antara perkiraan (ex ante) dan kenyataan (ex post).

Adakah korelasi antara teori Myrdal dan manajemen utang? Penulis dalam konteks ini ingin mengatakan bahwa terdapat hubungan saling silang yang cukup menarik—dalam konteks sosial-politik, kultural, dan hukum. Ada kaitan antara harapan dan kenyataan. Myrdal mengangkat teori ekonomi dari penyamaan dengan ilmu mekanika klasik dan menempatkannya dalam suatu tataran tersendiri.

Ada aspek lain yang lebih penting dalam pembedaan ex ante dan ex post, yakni membedakan perubahan “terantisipasi” dengan perubahan yang “tidak terantisipasi.” Karena itu, pembentukan ekspektasi dalam ketidakpastian dapat dibagi atas dua bagian, yaitu: ex ante penghitungan awal suatu periode, dan ex post, penghitungan pada akhir periode.

Tetapi, yang paling penting pada semua pendekatan dalam teori ekonomi yang mengandung unsur ketidakpastian, juga terbagi atas dua kelompok besar: pendekatan ex ante yang menerangkan bagaimana ekspektasi menentukan besaran variabel ekonomi; dan pendekatan ex ante dan ex post yang sekaligus menjelaskan perbedaan antara harapan dan kenyataan. Dengan mengusung teori Myrdal ini, timbul pertanyaan di hadapan kita semua demikian: apakah mengelola manajemen dan dilema utang ini memiliki aspek lain yang lebih penting dalam pembedaan ex ante dan ex post, perbedaan antara harapan dan kenyataan?

Sumber : http://dinazhar.multiply.com/journal/item/20

0 komentar:

Posting Komentar