Generasi Indonesia Tergerus Globalisasi

on Rabu, 23 Juni 2010


“Kalau pada saya diberikan seribu orang tua, saya hanya dapat memindahkan gunung semeru. Tapi kalau sepuluh pemuda bersemangat diberikan kepada saya, maka seluruh dunia dapat saya goncangkan” [Soekarno]

Mengawali tulisan ini, kiranya tidak berlebihan jika saya menghadirkan sebuah penggalan kalimat di atas yang diungkapkan oleh bapak bangsa kita, Ir Soekarno kepada para pemuda pada saat kongres Indonesia Raya tahun 1932 di Surabaya. Dalam konteks ini Soekarno menyadari betul bahwa pemudalah yang memiliki energi yang sangat luar biasa dalam memberikan sumbangsihnya terhadap peradaban. Sejarah telah membuktikan tentang bagaimana sepak terjang pemuda dalam setiap proses perubahan. Tengok saja peristiwa sumpah pemuda, aktornya adalah pemuda yakni dengan tujuan mulia ingin mempersatukan seluruh rakyat indonesia. Di dalam kancah perpolitikan nasional, pemuda memegang peranan yang sangat strategis dalam menentukan nasib suatu bangsa. Pemuda adalah sosok yang penuh semangat dan sangat sensitif terhadap kondisi yang terjadi di sekitarnya. Dalam hal menurunkan rezim yang otoriter, maka pemudalah yang menjadi ujung tombaknya. Kalau kita berangan-angan atau sekedar mengingat kembali romantisme sejarah, tentunya pemudalah yang paling berinisiatif dan banyak andil dalam setiap perubahan. Melalui tulisan ini penulis tidak ingin menyanjung-nyanjung tentang peran pemuda dalam pentas peradaban ini. Tapi setidaknya kita tidak serta merta melupakan begitu saja peran mereka dalam kancah perubahan, tentu saja dengan tidak menafikan peran serta dan dukungan seluruh rakyat Indonesia. Sehingga tidak salah pemuda disebut sebagai lokomotif perubahan. Tentunya dengan predikat yang melekat pada dirinya itu tidaklah membuat pemuda menjadi terninabobokan olehnya. Namun yang menjadi permasalahan sekarang adalah yaitu ketika pemuda yang akan menjadi pewaris ‘tahta’ peradaban larut dan terjebak dalam arus budaya hedonis. Perkembangan informasi dan teknologi harus kita akui telah sedikit banyak mereduksi nilai-nilai moral kemanusiaan kita. Sebut saja perkembangan dunia maya atau yang lebih tenar disebut internet. yang mampu membuat kita seolah tanpa jarak. Berbagai macam informasi tersaji rapi di sini, dari yang paling sopan sampai pada yang paling vulgar dan seronok.

Potret generasi muda indonesia

Tidak dapat disangkal bahwa perkembangan informasi dan teknologi telah memberikan sumbangsih yang besar terhadap perkembangan peradaban umat manusia. Dengan kemajuan teknologi dan informasi pekerjaan manusia semakin dipermudah, akibatnya manusia dimanjakan dengan kemudahan-kemudahan yang coba ditawarkan oleh produk-produk yang sifatnya instant. Disamping memberi dampak yang positif terhadap peradaban manusia, kemajuan informasi dan teknologi juga dapat memberikan dampak negatif bagi masyarakat, khususnya generasi muda kita. Mereka adalah kelompok pertama yang menjadi sasarannya, sebab mereka merupakan sosok yang masih dalam tahap pencarian indentitas. Ulah kemajuan informasi dan teknologi sangat mudah merubah gaya hidup manusia baik cara berpikir, cara berpakaian dan cara pergaulan. Bila kita tinjau dari frame cara berpakaian maka kita dengan sangat mudah menemukan busana sexy dan setengah telanjang dalam setiap aktivitas keseharian kita. Sebut saja ditempat-tempat hiburan dan sarana perbelanjaan seperti mall. Bahkan kadang-kadang untuk menjadi seorang staf di sebuah kantor atau perusahaan pun harus berpakaian modis dan rata-rata rok lima belas senti di atas lutut. Yang lebih menyedihkan lagi, fenomena ini justru bisa kita saksikan di dunia kampus. Dunia kampus yang seharusnya menjadi penetralisir pengaruh negatif tersebut, justru berbalik arah seolah ingin melegalkan budaya hedonisme di kalangan generasi muda kita. Kampus telah menjadi pentas pertunjukan mode dan peragaan busana. Lihat saja!, disetiap sudut-sudut kampus kita, setiap hari kita disuguhkan dengan busana yang menantang oleh sebagian teman kita yang perempuan. Dengan celana jeans ketat dipadu dengan baju kaos super ketat sampai perut (full press body), sehingga kelihatan pusar dan sesekali kelihatan tali under wear kala sedang jongkok. Saat naik angkot pun harus “setengah mati” menutup bagian dada yang kelihatan saat membungkuk masuk pintu angkot. Apa susahnya sih, kalo sebelum keluar rumah harus menutupnya dengan rapi?. Fenomena seperti inipun tidak luput dari kampus-kampus yang berlebel kampus islami. Sedangkan si laki-lakinya dengan mengadopsi habis-habisan gaya hidup punk dari barat sana. seolah-olah mereka kehilangan kepribadian sebagai bangsa yang memiliki nilai-nilai luhur dan tata krama. Free sex menjadi mazhab baru mereka, seolah mereka lahir tanpa agama. Bukankah Tuhan telah mengambil sumpah terhadap roh manusia semasih dalam rahim untuk bersaksi …Bukankan aku ini Tuhanmu?, Lalu mereka menjawab: benar engkau Tuhan kami (Qs Al-A’raf-172). Maka tidak ada lagi alasan untuk tidak menjalankan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi segala yang dilarang-Nya. Perilaku sex bebas juga sangat ditentang dalam islam sebagaimana tertuang dalam Al-Quran surat An-Nur ayat 30: “ Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka…” dalam islam sendiri telah diatur bagi para perempuan untuk menutup aurat dengan sempurna “Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakan perhiasannya (auratnya), kecuali yang biasa terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…”(QS An-Nur:31). Ayat ini menunjukan betapa islam memberikan perlindungan terhadap perempuan dari tindakan asusila, sekaligus memberikan penghargaan yang tinggi terhadap permasalahan moral.

Bila kita tinjau dari frame pergaulan, rasa-rasanya generasi muda kita telah terlanjur jatuh dalam lembah pergaulan bebas. Fenomena sex in the kost -sebagaimana hasil penelitian Iip Wijayanto yang kemudian dijadikan dalam bentuk buku-merupakan bukti yang nyata terhadap parahnya pergaulan bebas di kalangan mahasiswa di Yogyakarta. Hasilnya cukup mencengangkan, 90% mahasiswi di Yogyakarta tidak perawan lagi. Tak jarang akibat dari pergaulan bebas ini memunculkan penyakit sosial baru dalam masyarakat kita yakni praktek prostitusi. Interaksi antara laki-laki dan perempuan sepertinya sudah tidak ada lagi batas yang jelas, semuanya kabur. Sehingga jangan heran kalau duduk berduaan di tempat yang sepi, berpelukan, merangkul pinggang, bergandengan tangan antara laki-laki dan perempuan yang belum terikat tali pernikahan, dan berboncengan sepeda motor antara dua orang insan yang bukan muhrim-yang mengakibatkan dada ketemu punggung-sangat mudah kita temukan.. Pertanyaannya kemudian, Apakah kita hanya berdiam diri saja menyaksikan fenomena tersebut?. Ataukah kita turut larut di dalamnya dan diam-diam kita menjadi pemujanya?.

Peran media masa

Dalam pembentukan perilaku dan gaya hidup generasi muda, harus kita akui media memiliki pengaruh yang cukup kuat. Kadang-kadang media terlalu jauh menayangkan iklan ataupun tontonan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral serta cenderung provokatif. Bukan saja itu, yang lebih anehnya lagi, ada iklan tertentu yang mencoba menyandingkan keindahan tubuh wanita dengan produknya agar iklannya dapat menyita perhatian penonton. Peran media seharusnya menjadi sarana pencerdasan terhadap masyarakat, namun kini perlahan bergeser dan lari menjauh dari misi humanisnya dan cenderung berorientasi profit (kalau tidak dibilang ikut-ikutan mendukung kapitalisme global). Kita bisa melihat iklan-iklan di media cetak dan televisi yang sebagian besar sarat dengan eksploitasi keindahan dan keelokan tubuh perempuan. Sebut saja iklan pemutih kulit (hand and body lotion), lipstik, sabun mandi, sampai pada iklan bra dan pembalut wanita (soft tex). Bahkan ada yang lebih vulgar lagi, iklan sebuah merek sepeda motor yang disandingkan dengan (maaf) pantat salah seorang artis yang dijuluki ratu ngebor. Maka jangan marah, kalau muka bangsa Indonesia laku di jual di luar negeri hanya dengan pantat salah satu penyanyi ngebor. Pertanyaannya kemudian, dimana hubungannya antara goyang ngebor dengan sepeda motor?. Lucunya lagi masyarakat kita seolah-olah menganggap ini adalah sesauatu hal yang wajar (alamiah). Siapa yang patut disalahkan atas hal tersebut?. Apakah media ataukah masyarakat kita sendiri yang dengan senang hati sangat menikmati tontonan tersebut?. Kalau demikian keadaannya maka ini adalah alamat terjadinya degradasi moral dalam masyarakat kita, tak terkecuali generasi mudanya. Bukankah nilai moral adalah pra syarat yang membedakan kita dengan binantang?. Jika moral telah mati maka gugurlah salah satu pra syarat kita sebagai manusia seutuhnya.

Tanggung jawab Moral institusi pendidikan
Salah satu tanggung jawab besar negara terhadap generasi mudanya adalah bagaimana menyelamatkan generasi muda dari degradasi moral yang sudah kian terpuruk. Tentu saja dengan segala perangkat pemerintahan yakni kementrian pendidikan dan kebudyaan serta para agamawan dan pelaku budaya (budayawan) agar mampu membuat formula yang ampuh untuk menciptakan konsep pendidikan yang berbasis humanis dan religius. Program swastanisasi pendidikan terutama pendidikan tinggi atau yang lebih dikenal dengan BHMN merupakan pukulan telak bagi anak-anak bangsa ini. Tidak hanya itu, swastanisasi pendidikan merupakan bentuk represif negara terhadap rakyat. Ini adalah buah persekongkolan kapitalisme global yang kemudian akan secara perlahan-lahan mereduksi nilai-nilai moral. Saatnya kita harus merombak sistem pendidikan kita. Dari sistem pendidikan yang berbasis kapitalis ke arah sistem pendidikan yang berbasis humanis dan religius. Saatnya kita sekarang mengawinkan sains dengan nilai-nilai relijius keagamaan atau dalam islam dikenal adanya islam dan sains. Konsep pendidikan seharusnya mampu mengelaborasi antara yang empiris dengan nilai-nilai moral. Proyek peradaban ini seharusnya diberikan sepenuhnya kepada institusi pendidikan tinggi karena disitulah rumah penelitian terbesar dalam masyarakat kita. Satu lagi yang harus menjadi tanggung jawab moral institusi pendidikan adalah bagaimana menciptakan suasana kampus yang humanis agar tawuran, perjuadian ilegal, kampus undercover, dan peredaran narkotika tidak menghinggapi masyarakat kampus. Hal ini apabila dibiarkan terus-menerus maka stok orang-orang yang akan mewarisi bangsa ini akan punah akibat penyakit moral dan gaya hidup hedonisme yang menggerogoti mereka.

Sumber: http://poetoegaul.multiply.com/journal/item/27/Pemuda_Indonesia_tergerus_Globalisasi

0 komentar:

Posting Komentar