Pahami Sejarah Sebelum Memaknai Kebangkitan Nasional

on Rabu, 23 Juni 2010

Menimbang sejarah “102 Tahun Kebangkitan Nasional” tanggal 20 Mei 2008, tepat seratus tahun lalu Boedi Oetomo (BO) yang digagas oleh Dr. Soetomo dan kawan-kawannya di STOVIA berdiri. BO dianggap merupakan cikal-bakal pergerakan nasional di bumi pertiwi. Benarkah BO adalah organisasi pertama yang menjadi cikal-bakal pergerakan nasional? Ada baiknya kita mengkaji kembali sejarah, meski tentu tidak lepas dari berbagai pandangan yang kontroversial, setidaknya bisa menambah wawasan kita dalam menilai secara obyektif atau mencoba mencari intersubyektivitas dari berbagai pandangan yang kontroversial tersebut. Soetomo sendiri lahir di Ngegeh, sebuah desa kecil di Nganjuk, pada tahun 1888 — mungkin ini angka keberuntungan. Pada tahun 1903 Soetomo menyelesaikan pendidikannya di Stovia dan memperoleh gelar dokter. Sang dokter muda ini kemudian mendapat kesempatan melanjutkan pendidikannya di Belanda pada tahun 1919, dua tahun sebelumnya memperistri seorang noni Belanda yang dikenalnya saat bertugas di Blora.

Konon, semangat Soetomo mendirikan BO adalah setelah perkenalannya dengan Dr. Wahidin Soediro Hoesodo, tokoh pergerakan nasional yang lahir pada tahun 1857. Jurnalis yang juga pengajar ini adalah tokoh penggagas BO, bersama dengan Dr. Soetomo dan Wigjohadjo, menjadi redaktur dari surat kabar legendaris Retno Doemilah, yang terbit setiap hari Selasa dan Jumat setiap minggunya.

Pada tahun 1908, Wahidin juga memimpin majalah Goeroe Desa yang merupakan majalah BO. Jika Retno Doemilah fokus pada bidang pendidikan, maka Goeroe Desa lebih fokus pada masalah kesehatan. Selain Soetomo dan Wahidin, ada satu tokoh penting lagi dalam BO, yakni Tjipto Mangunkusumo. Tokoh pergerakan yang bergaya radikal ini lahir di Ambarawa, pada tahun 1886. Tjipto sempat menjadi komisaris BO, namun tidak lama kemudian hengkang, karena tidak cocok dengan Dr. Radjiman Wedyoningrat dan kelompoknya, yang dianggapnya terlalu primodial dalam mempertahankan BO sebagai gerakan tulen Jawa, yang menurutnya turut menyuburkan feodalisme.

Tjipto kemudian bergabung dengan guru jurnalistiknya Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat dalam tiga serangkai dan menerbitkan surat kabar De Expres, pada Maret 1912. Pada tahun yang sama Tjipto mendirikan Indische Partij (IP) guna meluaskan sepak-terjangnya.

Perlu diingat, sebelum BO dan Tiga Serangkai, lahir Sarekat Prijaji pada tahun 1904, yang dimotori oleh Tirto Adi Soerjo, seorang cucu dari Bupati Bojonegoro yang lahir pada tahun 1880. Organisasi yang dianggap sebagai organisasi modern pertama yang dimiliki bangsa Indonesia ini mulai melakukan konsolidasi dari tingkatan priyayi dari Jawa, Madura hingga ke Ambon.

Namun, sepak-terjang Tirto yang sering disebut sebagai Sang Pemula Pergerakan di Indonesia ini mulai menonjol saat menerbitkan surat kabar Medan Prijaji, pada tahun 1907. Tercatat, puluhan kali Tirto membuat merah telinga para pembesar Belanda, bupati dan antek-antek feodalis lainnya. Gubernur Jendral Idenburg bahkan menugaskan Dr. Rinkes, untuk secara khusus mengamati, mengontrol, memojokkan dan menumbangkan Tirto dan Medan Prijaji. (Pramoedya Ananta Toer khusus menulis riwayat hidup dan perjuangan Tirto dalam Kuartet Pulau Buru, dengan nama samarannya Mingke, sebuah novel fenomenal yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dianggap layak mendapatkan nobel sastra).

Dari tangan dingin Tirto inilah bibit-bibit pergerakan nasional ditanamkan kemudian melatarbelakangi lahirnya Sarekat Islam (SI), yang digawangi oleh Samanhudi dan Tjokroaminoto. Salah satu murid Tirto, yang fenomenal, namun juga seorang pejuang serta seniman yang kontroversial adalah Marco Martodikromo. Marco yang lahir di Cepu, pada tahun 1890, adalah sahabat dari Suwardi Suryaningrat dan Haji Misbach. Ia berkali-kali keluar-masuk penjara dalam melakukan perlawanan melalui organisasinya Doenia Bergerak.

Marco merupakan organisator paling ulet waktu itu, bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1923, setelah mendirikan surat kabar Sinar Hindia bersama Soemaoen, tokoh kaum buruh. Ia juga sempat bergabung di Central Sarekat Islam (CSI). Terakhir, ia sempat mengkonsolidasikan hampir 3.000 massa di Surakarta yang tergabung dalam Sarekat Rakjat.

Kebangkitan nasional ditetapkan diperingati saat lahirnya BO, bukan kelahiran Sarekat Prijaji, Sarekat Islam, ataupun kelahiran Sarekat Dagang Islam (SDI). Padahal, menurut paparan sejarah di atas, BO bukan organisasi pionir.

Penetapan tersebut memang bukan tanpa alasan. Pertama, mungkin SP hanya dianggap mewakili para priyayi, SI hanya mewakili golongan Islam, sedangkan TS hanya fokus dalam dunia pendidikan. Namun, belakangan BO sendiri mengalami friksi di dalamnya dan akhirnya ditinggalkan beberapa pendirinya termasuk Tjiptomangunkusumo, karena dianggap terlalu “Jawais”. Tapi, yang jelas, bukan karena persoalan nama BO yang terkesan santun dan persuasif dibandingkan SI atau IP.

Kedua, kita telah mafhum bahwa selama orde baru negara ini dipimpin seorang jenderal semi-diktator. Pada masa orde baru, semua golongan kiri atau golongan merah dianggap terlarang, berbahaya dan harus dibungkam rapat-rapat. Bisa jadi itulah pertimbangan pemerintah kita saat itu, sehingga kurang proporsional dalam menempatkan sejarah. Semua yang berbau komunis dianggap sesat dan menyesatkan. Bahkan, hampir tidak ada pelajar SD hingga SMA yang tahu perbedaan PKI Soemaoen dengan PKI Muso atau dengan PKI Aidit. PKI, ya PKI! Bahkan, mainan yang berbentuk palu atau sabitpun dilarang karena dinyatakan menentang Pancasila. Sejarah dan fakta memang telah diputarbalikkan. Lebih aneh, mayoritas masyarakat kita pasrah dan mengamininya.

Ketiga, dari sekian puluh pemimpin pergerakan Indonesia, baik semasa merebut kemerdekaan maupun saat mempertahankan kemerdekaan. Pemerintahpun telah mensortirnya dengan ukuran yang dibuat sendiri dalam menetapkan pahlawan nasional. Misalnya para pendiri BO, Tiga Serangkai dan SDI, semua masuk dalam kriteria itu. Sedangkan pejuang (yang dianggap) “aliran kiri” seperti Tirto, Marco, Soemaoen, Tan Malaka, dan lain-lain, justru dijadikan sebagai tokoh antagonis. Tidak berbeda dengan nasib Karl Marx, yang juga dijadikan “hantu” di Eropa pada masanya.

Diakui atau tidak, masyarakat kita memang gandrung akan dualisme antara protagonis dan antagonis. Terbukti dari tingginya rating tontonan sinetron-sinetron yang menjual dualisme, atau tayangan hantu-hantu di televisi kita. Padahal, bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa-jasa pahlawannya, tentu saja secara proporsional.

Saat peringatan hari pahlawan beberapa waktu lalu, banyak pihak yang bertanya, mengapa tokoh sekaliber Bung Tomo, yang menggelorakan semangat Arek-arek Soerobojo dan Sultan Hamengkubuwono IX, yang berkorban begitu besar bagi berdirinya negara ini, belum juga ditetapkan sebagai pahlawan nasional? Alasan prosedur harus melalui pengajuan dari keluarga adalah hal yang tidak masuk nalar pikir bangsa yang dewasa. Karena, gelar pahlawan nasional adalah sebuah penghargaan bangsa ini kepada pahlawannya, bukan gelar atau proyek yang harus didahului dengan pengajuan sebuah proposal.

Memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional, digelar acara yang begitu meriah di Jakarta, Pontianak, Yogyakarta, dan berbagai kota lainnya. Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutannya mengajak kita menjadi bangsa yang optimis. Para menteri dan para politisi sibuk menggembor-gemborkan makna kebangkitan nasional. Seorang pimpinan partai bahkan rela membayar iklan beberapa bulan di berbagai televisi swasta dan satu halaman penuh di berbagai surat kabar nasional, sambil menyitir syair Chariril Anwar, berseru “Hidup adalah perbuatan”. Alangkah romantisnya peringatan satu abad kebangkitan nasional ini.

Di sisi lain, di berbagai kota, para mahasiswa dengan logikanya sendiri, marak berteriak meminta pemerintah untuk tidak menaikkan BBM. Golongan mahasiswa, yang entah apa karena berpikirnya sudah lumayan logis atau hanya karena pro pemerintah, meminta presiden untuk menundanya. Bagi mahasiswa dan rakyat miskin, naik tidaknya minyak dunia bukanlah urusan mereka. Seharusnya pemerintah mencari solusi lain, bukan menaikkan BBM. Karena, satu hal yang pasti ketika BBM naik, inflasi pun dipastikan terjadi. Ketika inflasi tidak terkendali, seperti yang terjadi selama ini, kurva kemiskinan juga dipastikan akan melejit kembali.

Mungkin kita perlu menakar ulang makna kebangkitan nasional ini, sehingga pijakan kita untuk bangkit bisa menjadi kokoh dan tidak keropos seperti saat ini.

Catatan: Ringkasan sejarah di atas dikutip dari buku Tanah Air Bahasa, 100 Jejak Pers Indonesia, terbitan I; Boekoe, Desember 2007. (Farid S. Zuhri, KORKOT-04 KMW XIV P2KP-3 Maluku Utara, PNPM Mandiri Perkotaan; Firstavina)

Sumber : http://www.p2kp.org/wartaarsipdetil.asp?mid=2271&catid=2&

0 komentar:

Posting Komentar